Media Sosial dan Kemasan Publikasi Riset | AS Institute

Tuntutan kualitas sumber daya manusia di era disrupsi tidak lagi terfokus pada keahlian, melainkan kreativitas dan kemampuan dalam penyelesaian masalah (problem solving) yang utama. Dalam mencetak sumber daya manusia yang siap saing dalam dunia kerja, perguruan tinggi meletakkan riset sebagai tolok ukur kelulusan mahasiswa; hasil riset dikemas dalam bentuk karya tulis ilmiah berupa skripsi dan artikel jurnal.

Photo by : Pexels.com

Ketika berbicara riset, satu hal yang langsung tertanam dalam pikiran kita ialah pemecahan masalah, artinya terdapat solusi dalam setiap hasil riset. Namun pemahaman sederhana tentang riset tadi juga menimbulkan pertanyaan yang cukup menarik, yakni seberapa berhasil riset memberi dampak dalam ranah praktik di tengah masyarakat?

Sebelum menjawab pertanyaan tadi, ada hal yang perlu kita ketahui terlebih dahulu; sesuai data dari Ristek Dikti, pada 2017 terdapat 4.504 unit perguruan tinggi di Indonesia. Jika disamaratakan setiap perguruan tinggi memiliki 100 lulusan per tahun, maka ada 450.400 mahasiswa diwisuda setiap tahunnya. Sesuai tolok ukur kelulusan tadi, jumlah riset yang diselesaikan dalam satu tahun sama dengan jumlah lulusan dalam tahun tersebut.

Logika sederhananya, setiap tahun perguruan tinggi memberikan 450.400 penyelesaian masalah di tengah kehidupan masyarakat. Kalkulasi tadi bukanlah angka pasti karena sejauh ini saya tidak menemukan angka pasti jumlah lulusan perguruan tinggi tiap tahunnya di Indonesia. Tapi setidaknya kalkulasi ini bisa menjadi analogi yang pas dalam menggambarkan peran riset yang semestinya.

Kembali lagi pada pertanyaan tadi, jawabannya dapat dilihat dari peringkat riset Indonesia di kancah ASEAN. Dalam laporan tahun 2018 Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah atau satu tingkat di atas Kamboja sebagai juru kunci. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas riset Indonesia; menurut Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), orientasi penelitian di Indonesia baru sebatas penyerapan anggaran.

Dalam tulisan ini yang menjadi pokok bahasan ialah upaya pemanfaatan hasil riset; kemasan publikasi riset menjadi objek pengamatan dalam riset sederhana yang saya lakukan. Terlepas dari permasalahan nilai guna riset atau kualitas yang dihasilkan, satu hal yang penting diperhatikan ialah tersegmentasinya publikasi riset itu sendiri.

Adanya segmentasi terhadap publikasi hasil riset disebabkan oleh pengemasan hasil riset yang cenderung kaku dalam bentuk karya tulis ilmiah tadi. Ketika publikasi hanya sebatas dalam artikel jurnal skripsi dan lainnya, lalu bagaimana bisa temuan yang diperoleh dalam suatu riset tersampaikan ke seluruh kalangan masyarakat?

Akar Masalah

Kiranya kita sepakat bahwa budaya membaca karya tulis ilmiah umumnya hanya ada di kalangan akademisi atau dosen dan mahasiswa karena memang menjadi sebuah kebutuhan. Kemudian karya tulis ilmiah yang menggunakan bahasa formal cenderung akan membuat pembaca cepat bosan. Jauh berbeda dengan karya sastra seperti novel yang akan memainkan emosi pembaca sehingga tidak begitu monoton.

Secara general saja, tingkat literasi Indonesia masih tergolong rendah, tentunya akan lebih rendah lagi jika jenis bacaannya dispesifikkan hanya pada karya tulis ilmiah. Hal inilah yang menjadi salah satu akar masalah hasil riset tidak teraktualisasikan dengan baik selain dari masalah kualitas hasil riset itu sendiri.

Kemudian, ketika kita kulik lebih dalam lagi, sebenarnya telah terjadi segmentasi secara alamiah terhadap publikasi hasil riset berdasarkan strata sosial. Hal ini dapat dilihat dari adanya labelisasi publikasi yang didasarkan kualitas sehingga menyebabkan ketidakterjangkauan masyarakat kelas bawah untuk mengakses publikasi dengan kualitas atas. Dan masalah terakhir yang paling mengkhawatirkan ialah menurunnya kemampuan intelegensia dalam melakukan riset serta membahasakan hasil riset untuk bisa dipahami seluruh kalangan masyarakat.

Menjangkau Semua Kalangan

Sesuai dengan tuntutan sumber daya manusia saat ini, kreativitas dan kemampuan sebagai problem solving dipertanyakan. Sebenarnya, di era disrupsi dan perkembangan teknologi informasi, media sosial telah menyediakan wadah publikasi yang lebih elegan dan lebih pentingnya lagi mampu menjangkau semua kalangan. Tetapi sejauh ini publikasi riset belum mengikuti budaya informasi yang terus berevolusi setiap waktu.

Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa kita tengah berada di "era medsos spatial" --suara, gambar, dan video menjadi format komunikasi utama. Format komunikasi ini telah tersedia di berbagai aplikasi media sosial dan kemasan semacam inilah yang mestinya disesuaikan dengan publikasi hasil riset agar tersampaikan dengan baik untuk pemanfaatan dalam ranah praktik.

Namun realitasnya, publikasi riset sejauh ini belum mengikuti evolusi yang terjadi dalam media. Sampai sekarang, model publikasi hasil riset masih berada pada "era medsos tekstual" yang merupakan awal transisi media konvensional menuju media sosial. Hal ini bisa dilihat dari publikasi riset yang meletakkan kata dan kalimat dalam dokumen pdf sebagai format komunikasi utama.

Pembaharuan terhadap kemasan publikasi hasil riset tidaklah mesti menghilangkan format dengan kemasan kata dan kalimat dalam pdf (tekstual). Tetapi poin pentingnya ialah bagaimana caranya publikasi hasil riset juga mengikuti budaya informasi yang menjadi kecenderungan masyarakat sesuai era medsos yang ada saat ini. Sehingga segmentasi intelektualitas yang telah terbentuk secara alamiah tadi bisa dipecahkan.

Era disrupsi dalam hal ini evolusi media sosial akan memaksa setiap individu menyesuaikan diri dengan budaya informasi yang ada sesuai zamannya. Tentunya sesuatu yang tidak mampu mengikuti perkembangan akan ditelan zaman. Oleh karena itu, publikasi hasil riset mesti diupayakan untuk kembali relevan dengan zaman, karena bicara riset ialah bicara penyelesaian masalah secara ilmiah.

Mengingat saat ini kita berada di "era medsos spatial" yang menggunakan format gambar, audio, dan video sebagai format komunikasi utama, maka intelegensia dituntut tidak hanya membahasakan hasil riset agar mudah dipahami. Tetapi, juga dituntut untuk mengemasnya dalam format gambar, audio, dan video sesuai dengan budaya informasi saat ini.

Kemudian sedikit refleksi untuk kita, bahwa peningkatan pesat taraf kehidupan yang terjadi di China tidak lain dipandu oleh kebijakan pemerintah yang memprioritaskan penelitian atau research and development (R&D). Maka dari itu, perlu keseriusan dalam menanggapi hal ini, baik secara kelembagaan yang bersifat top down maupun individual yang bersifat bottom up.

Penulis : M Hafiz Al Habsy, Kepala Bidang Riset dan Inovasi Lembaga As Institute

*Telah Terbit di Detik.com, 17 Maret 2022