Bangkai Cinta Purba
Apa
kabar demikian?
Ada
tanda titik yang tak memberi ruang pada jeda
Mendikte
malam
Mengukir
embun pada dedaunan
Seolah
bertanya padahal kau menutup cerita
Seperti
kayu lapuk yang tak berkesempatan merawat tunasnya
Hari
demi hari
Rasa
cinta perlahan menjadi bangkai yang purba
Disajikan
dengan baluran rasa kecewa
Dengan
bingkisan kebohongan yang mulai membusuk
Mencekam
Apakah
ini angkara?
Balada
sekelumit nestapa dengan warna darah
Bertengger
ketika senapan ditodongkan dalam ingatan
Mencekam
Riak
air tenang yang menenggelamkan
Ratap Duka
Aku
menangis pada pangkuan malam
Coba
menepis sekat-sekat kecewa pada pelupuk mata mesra
Ada
nada luka yang tak bisa dibaca syairnya
Sang
puan berkata, lihatlah nak
Lihatlah!
Cara
tidurnya
Tidur
dengan selimut putih hingga kepala
Tempat
ini bergema
Buaian
ratap duka
Apakah yakin?
Berulang
kali aku tanyakan
Makna
yang belum tersampaikan rintik hujan pada samudra
Isyarat
yang belum sempat dijelaskan angin pada dedaunan
Apakah
yakin mempertanyakan ini?
Pada
elit berdasi di balik jeruji besi
Menonton
TV sambil menikmati kopi
Menyeduh
bualan dengan kepentingan
Menyeruput madu menyisakan empedu
Sijunjung
2021
Penulis adalah alumni SMAN 7 Sijunjung, sekarang tengah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Negeri Padang sebagai mahasiswi jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial. Penulis lahir pada 05 Februari 2000 di Aie Luo, yang mana sebuah nagari kecil terletak di Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat.
*Telah Terbit di Singgalang, 17 Oktober 2021